Banyak orang merendahkan profesi tukang becak, tetapi Bapak ini dapat membuktikan bahwa dia bisa melampaui batas. Dengan sekolahkan anak sampai Inggris.
Kisah lulusan terbaik dari Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang (Unes), Raeni sepertinya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Dia sempat menjadi liputan para media saat Juli 2014 karena datang ke tempat wisuda dengan diantar ayahnya menaiki becak. Kenapa menaiki becak? Sebab, pekerjaan ayahandanya memang seorang tukang becak. “Sekarang Raeni kuliah S-2 di Inggris,” ungkap Sang Ayah, Mugiyono di Hotel Menara Peninsula Jakarta belum lama ini.
Pencapaian ini didapatkan puteri kedua Mugiyono ini melalui beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Sebelum mendapatkan beasiswa tersebut, Raeny memang sudah tidak asing lagi dengan bantuan pendidikan ini. Saat menjadi mahasiswa S-1 di Unes pun, dia memperoleh beasiswa Bidikmisi dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud).
Mugiyono hanyalah seorang ayah sekaligus suami yang tidak sempat menikmati pendidikan tinggi. Dia hanya lulusan paket A sedangkan Sang Istri, Sujamah tak lulus SD sama sekali. Meski bukan berpendidikan tinggi apalagi masuk sebagai keluarga berada, Mugiyono tak ingin anaknya memiliki nasib serupa seperti ia dan istrinya.
Seperti dikutip buku Profil Penerima Penghargaan Orang Tua Hebat karya Kemendikbud, Raeni menilai, ayahandanya merupakan sosok tegas. Dukungan dan sokongan orang tuanya tak pernah berhenti walaupun dirinya sempat merasa minder
memiliki ayah berprofesi sebagai tukang becak. Penghasilan tukang becak sangat jauh dari cukup. Sehari-hari hanya mampu mendapatkan uang sebesar Rp 10 sampai 50 ribu. Jumlah sekecil ini tentu belum mampu mencukupi kehidupan sehari-hari mereka termasuk biaya pendidikan. Oleh sebab itu, Mugiyono pun harus mencari uang tambahan dengan menjadi penjaga malam. Upahnya pun lebih besar dibandingkan dari modal kayuh becaknya, yakni Rp 450 ribu per bulan.
Sang Istri pun ikut membantu dengan berjualan es di sekitar rumah.
Saat menjalani S-1, Raeni memang memperoleh bantuan biaya hidup dari beasiswa Bidikmisi sebesar Rp 600 ribu per bulan. Besaran tersebut tentu belum bisa mencukupi secara keseluruhan kebutuhan Raeny. Melihat situasi itu, Mugiyono jelas perlu membantu biaya pendidikan sang anak walau sedikit. “Sebagai orangtua hanya bisa mendukung. Saya rela mengajukan pensiun dini dari perusahaan kayu lapis agar mendapatkan pesangon,” ujar Mugiyono.
Profesi tukang becaknya sendiri mulai dilakukannya sejak 2010. Sementara saat ini profesi Mugiyono sepertinya sedikit beralih lebih tinggi dibandingkan lalu. Atas bantuan sang anak, dia pun kini menjadi pengojek di daerahnya. Meski sudah berkelana ke negeri yang bukan mayoritas masyarakatnya Muslim, Mugiyono selalu mengingatkan puterinya untuk tetap beribadah.
Dia selalu berharap anak kebanggaanya itu bisa menjadi sosok wanita shalehah dan berperilaku baik. Dengan ilmu dan kecerdasannya dia bermimpi, agar semua itu bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. “Baik untuk orangtua, agama, bangsa maupun negara,” tutup dia.
Karena kisahnya begitu menginspirasi, Kemendikbud melalui Direktorat Pembinaan Keluarga pun memilihnya sebagai orang tua hebat. Pasangan ini pun diundang untuk datang ke Jakarta dan menerima penghargaan dari Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy.